Senin, 27 April 2009

Pohon Pun Ikud... naNGis...!!!!!

“The best friend on earth of man is the tree. When we use the tree respectfully and economically, we have one of the greatest resources of the earth”. (Arsitek Frank Lloyd Wright)




Banyak cara dapat kita lakukan untuk menyelamatkan Bumi yang kian rapuh. Salah satunya dengan menanam pohon, sang primadona efek pemanasan Bumi, penyelamat lingkungan.

Pohon adalah salah satu keajaiban alam terhebat. Semua ajaran agama dengan tegas menempatkan pohon menjadi simbol dan sumber kehidupan manusia. Relief-relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan candi-candi lain melukiskan pohon dalam kehidupan kita. Sakral dan romantis. Cinta dan kedamaian terukir dengan menanam pohon dan segala aktivitas kehidupan di bawah pohon. Kebencian dan anarki dilukiskan dengan menebang pohon.

Pohon adalah pembentuk ruang paling dasar (akar dan tanah = lantai, batang = tiang, ranting dan daun = atap) yang menciptakan keteduhan agar manusia dapat melakukan aktivitas di bawahnya. Sang Buddha Gautama merenung hening di bawah pohon Bodi (Ficus religiosa). Para murid yang sekolahnya ambruk tetap dapat belajar di bawah kerindangan pohon.

Bumi dan perempuan adalah satu. Kata bumi sendiri berkonotasi perempuan. Bumi tempat pohon berpijak menghujamkan akarnya. Bumi, pohon, dan perempuan menginspirasi Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film terbarunya berjudul Under The Tree. Bagi Garin, pohon mempunyai banyak makna yang menjadi bagian tak terlupakan dalam kehidupan semua orang di Bumi. Pohon dan perempuan juga telah mendorong Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Sepuluh Juta Pohon (1/12/2007) untuk menyelamatkan Bumi.

Pohon Beringin (Ficus benjamina) dipilih sebagai lambang Persatuan Indonesia, sila ketiga Pancasila. Pohon kalpataru (Barringtonia asiatica), pohon kehidupan, dijadikan simbol penghargaan bagi pahlawan pelestarian lingkungan hidup. Meski bukan partai hijau, sebuah partai politik besar justru memakai lambang pohon beringin untuk mencitrakan partai yang memberi keteduhan kepada rakyat.

Pusat-pusat kota di Jawa ditandai dengan dua pohon beringin kurung di alun-alun sebagai titik nol kota. Pohon kamboja (Plumeria alba) banyak ditanam di pura-pura suci di Bali atau di tanah pemakaman di Jawa.

Sebutan kota-kota kita juga ada yang berasal dari ciri khas pohon-pohonnya, seperti Semarang (pohon asam yang ditanam jarang-jarang), Bogor yang identik dengan pohon kenari. Begitu pula sejumlah kawasan di Jakarta, dulu Sunda Kelapa (Cocos nucifera), kawasan Menteng (Baccaurea recemosa), Cempaka Putih (Michelia alba), Karet (Ficus elastica), Kemang (Mangifera caecea), Kelapa Gading (Cocos capitata), Kapuk (Ceiba petandra), Kosambi (Schleichera oleosa), atau Kebayoran (Bayur = Pterospermum javanicum).

Tetapi pohon-pohon kini merana karena tumbang ditiup angin atau ditebangi tanpa terkendali. Padahal, pohon wajib dilindungi dan dilestarikan apa pun alasannya. Menebang pohon sama saja mempercepat ajal kita.

Pada era pemanasan Bumi dan berbagai bencana alam (banjir, tanah longsor, pencemaran udara, krisis air) terjadi, gerakan penanaman pohon besar yang lebih banyak lagi merupakan hal mutlak. Pohon berjasa menahan air dalam tanah, mencegah erosi dan longsor, menjadi habitat bagi beragam makhluk hidup, memproduksi oksigen, menyerap karbondioksida–gas rumah kaca penyebab pemanasan global–menyaring gas polutan, meredam kebisingan, angin dan sinar matahari, dan menurunkan suhu kota.

Menanam pohon sebenarnya berbicara tentang kearifan konsumsi-investasi, menjamin kelangsungan lingkungan hidup warga dan kota. Selalu ada alternatif penyelesaian cerdas dalam membangun kota tanpa harus menebangi pohon jika kita mau berpikir panjang. Seluruh warga hendaknya berpartisipasi menggerakkan lompatan besar menghijaukan kota melawan proses penggurunan kota (hutan beton).

United Nations Environment Programme (UNEP, 2007) berkampanye “Plant for the Planet: Billion Tree Campaign”, sebagai salah satu upaya memulihkan kondisi Bumi dari pemanasan global melalui gerakan menanam pohon (http://www.unep.org/billiontreecampaign). Di kita, gerakan penghijauan masih sekadar seremonial belaka. Terbengkalai, tidak dipelihara, dan mati.

Menanam pohon ada aturannya, tidak asal tanam. Penanaman pohon mensyaratkan kecocokan jenis pohon (pantai, dataran rendah, pegunungan), fungsi (ekologis, ekonomis, estetis), ketepatan cara (standar keamanan dan keselamatan), waktu penanaman, penyediaan, pemilihan, dan pendistribusian (dalam jumlah besar), serta pemeliharaan pascatanam. Penanaman harus memerhatikan segi estetika arsitektural, lanskap visual kota, peran maksimal terhadap lingkungan, aman terhadap konstruksi, batang tak mudah patah, dan berumur panjang (ratusan tahun).

Pohon-pohon pengikat tanah dan penyimpan air tanah ditanam di lahan kritis yang rawan longsor dan erosi. Pohon bakau memagari kawasan tepian pantai hingga menyusup ke jantung kota melalui bantaran kali untuk mencegah intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan air pasang, angin dan gelombang besar dari lautan lepas, mencegah pendangkalan dan penyempitan badan air, menyerap limpahan air dari daratan (saat banjir), menetralisasi pencemaran air laut, dan melestarikan habitat tiga ekosistem hutan bakau yang kaya keanekaragaman hayati.

Jenis pohon tertentu terpilih sebagai pohon penyelamatan (escape trees) yang ditanam di sepanjang jalur evakuasi bencana (escape route) menuju taman atau bangunan penyelamatan (escape building) lainnya. Penanaman pohon besar di sepanjang jalur hijau jalan, jalur pedestrian, bantaran rel kereta api, jalur tegangan tinggi, serta jalur tepian air bantaran kali, situ, waduk, tepi pantai, dan rawa-rawa akan membentuk infrastruktur hijau raksasa yang berfungsi ekologis. Kota pohon memberi keteduhan pada pejalan kaki dan penunggang sepeda.

Berbagai penelitian membuktikan, 1 hektar ruang terbuka hijau (RTH) yang dipenuhi pohon besar menghasilkan 0,6 ton O2 untuk 1.500 penduduk/hari, menyerap 2,5 ton CO2/tahun (6 kg CO2/batang per tahun, menyimpan 900 m3 air tanah/tahun, mentransfer air 4.000 liter/hari, menurunkan suhu 5°C-8°C, meredam kebisingan 25-80 persen, dan mengurangi kekuatan angin 75-80 persen. Setiap mobil mengeluarkan gas emisi yang dapat diserap oleh 4 pohon dewasa (tinggi 10 m ke atas, diameter batang lebih dari 10 cm, tajuk lebar, berdaun lebat).

Pemerintah perlu menyurvei ulang, mendeteksi tingkat kesehatan dan keamanan, serta mengambil tindakan perawatan, pemeliharaan, dan asuransi pohon. Unit reaksi cepat perlu tanggap memberi pertolongan darurat, memangkas pohon sakit atau rawan tumbang, menyingkirkan pohon tumbang, mengangkut, dan mengolah sampah pohon, serta didukung standar kinerja, kompetensi pekerjaan, sertifikasi tenaga pengawas, dan pelaksana pemeliharaan pohon. Ini agar warga kota tidak paranoid, takut pohon tumbang saat musim hujan tiba atau ada angin puting beliung.

Pemerintah bersama masyarakat dapat memelihara dan melindungi pohon. Kita dapat mengadopsi dan menjadi orang tua angkat pohon-pohon besar di depan rumah.

Ada beberapa pohon yang layak tanam untuk kota besar seperti Jakarta, yaitu pohon trembesi/Ki Hujan (Samanea saman), asam (Tamarindus indica), mahoni (Swietenia mahogani), tanjung (Mimusops elengi), atau bintaro (Cerbera manghas). Selain itu, pohon buah-buahan yang menarik bagi burung dan tupai dapat pula ditanam di lingkungan rumah kita, seperti pohon mangga (Mangifera indica), sawo kecik (Manilkara kauki), rambutan (Nephelium lappaceum), nangka (Artocarpus integra). Kawasan pantai dapat ditanami waru laut (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia), nyamplung (Calophyllum inophyllum), ketapang (Terminilia cattapa).

Kita tidak akan pernah dapat menghargai pohon selama kita tak pernah mendengarkan bahasa pohon. Seperti pepatah bijak dari China 500 SM, “jika engkau berpikir untuk satu tahun ke depan, semailah sebiji benih, jika engkau berpikir untuk sepuluh tahun ke depan, tanamlah sebatang pohon”. Ingat pula, kata Al Gore, “Plant trees, Lots of trees,” (An Inconvenient Truth, Al Gore, 2007).
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya ke langit. Ia memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan untuk manusia supaya mereka ingat” [QS Ibrahim [14]: 24-25].



Banyak cara dapat kita lakukan untuk menyelamatkan bumi yang kian rapuh. Salah satunya dengan menanam pohon, sang primadona efek pemanasan bumi, penyelamat lingkungan. Lewat buku ini, Nirwono Joga dan Yori Antar menuangkan ide-ide mereka tentang pembangunan kota yang asri dan ramah lingkungan. Latar belakang pendidikan mereka di bidang arsitek membuat pendekatan buku ini kian menarik. Menyadarkan kita akan hakikat manusia sebagai khalifah yang dititipi amanat Allah swt untuk merawat lingkungan sekitar kita.

Green Lifestyle
Setiap hari kita merasakan dampak dari kerusakan lingkungan. Udara kotor dan panas, sampah menumpuk, banjir selalu mengancam, dan kualitas air tanah yang menurun. Bagaimana menanggulangi atau paling tidak mengurangi dampak itu? Langkah yang paling tepat untuk memulainya adalah dengan memulai dari diri kita sendiri, dengan berperilaku ramah terhadap lingkungan.

Namun, memulai dari diri sendiri itu tak mudah. Perlu dukungan dari orang lain agar kita termotivasi. Selain itu, perlu juga mengetahui cara-cara praktis untuk bergaya hidup yang ramah terhadap lingkungan.

Selasa, 21 April 2009

The Earth Day

Andaikan bukan lima milyar manusia menghuni bumi, melainkan
lima milyar harimau; tidak ada jarak seratus meter pun di Pulau Jawa tanpa anda bertemu seekor harimau. Apa anda tidak akan mengalamitrauma/frustrasi dihantui begitu banyak harimau?

Bagi umat bumi yang beruntung tidak dibudidayakan, melihat manusia ibarat melihat harimau yang lebih harimau daripada harimau yang sebenarnya; karena “manusia harimau” ini tidak puas memakan daging
saja, melainkan juga hasil tumbuh-tumbuhan, ya buah, daun, bunga, kayu bahkan juga bahan bakar, logam, plastik, semen, beton dan lain-lain lagi.



Bayangkan, untuk memenuhi kebutuhan lima milyar “manusia harimau” itu, betapa banyak makhluk bumi harus dibudidayakan (alias dicalon-korbankan), diburu, ditembak, dijerat, dijaring, dipancing,
dibabat, digergaji,…. Perut bumi pun dibor dan diledakkan. Dan pengotorannya tidak tanggung-tanggung mencemari tanah, sungai, laut, udara bahkan menyebabkan hujan asam, merusak lapisan
ozon diudara dan meningkatkan suhu bumi.

Jika dibiarkan, dalam tahun 2025 menurut ramalan, umat manusia akan mencapai jumlah 8,5 milyar. Naik sekitar 3,5 milyar dalam 35 tahun menuju malapeta­ka dimana bumi berikut umat insan akan meratap dan
berkabung.

Sebaliknya, andaikan bukan kenaikan melainkan penurunan 3,5 milyar jumlah penduduk itu bisa diwujudkan, bumi dan umat insan akan berseri. Begitulah pesan bumi.

Sadar akan “menghamanya” umat manusia, di Indonesia, terutama dikota-kota besar yang padat penduduk, pasangan-pasangan subur sibuk ber-KB untuk menurunkan jumlah populasi sampai serendah-rendahnya. Memang lebih baik, daripada menurunkannya melalui peperangan atau membiarkan orang-orang mati konyol melalui kelaparan atau penyakit. “Satu anak saja demi masa depan tanpa polusi, tanpa kemacetan lalu-lintas, tanpa pengangguran, tanpa kemiskinan, tanpa harus hidup berhimpit dalam kampung kumuh/rumah susun, tanpa transmigrasi, tanpa penggusuran, tanpa cemas kehamilan, tanpa pengguguran,…”